Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.
Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan yang ia makan lebih banyak didapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian?
Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
Kejadian yang Mulai Merubah Pandangan Hidupnya

Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ditanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan.
Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya tersentuh. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh.
Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Dalam Memberi, Bai Fang Li Tak Pernah Menuntut Apapun

Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.

Terus terang…
Membaca kisah diatas, Admin merasa malu sendiri dgn apa yg dilakukan oleh Bai Fang Li…
Diusianya yang ringkih…
Dengan kemampuan yg terbatas…
Tidak menghalanginya tuk bisa BERBAGI Buat Mereka Tersenyum…
Dia telah menembus batas2 keikhlasan…
Dimana kebanyakan dari kita menjadikan “keikhlasan” tuk membatasi aksi BERBAGI kita…
“Biar sedikit asal Ikhlas” ….
“Senyum manis gw kan juga sedekah…
“Gw kan belum jadi orang kaya”….
Begitu banyak alasan dari kita…

Ga usah nunggu kaya tuk bisa BERBAGI…
Ga usah juga kita Berjuang seperti Bai Fang Li…
Karena Admin yakin tidak akan mampu…
Cukup dgn kurangi anggaran2 mubazir kita…
Seperti Rokok…
Seperti Bioskop…
Seperti Cafe… dll….
Alihkan tuk BERBAGI Buat Mereka Tersenyum…
Memang Senyum emang Sedekah, tapi tidak bisa buat biaya Sekolah…
Dari kisah hidupnya diatas…
Seolah-olah Bai Fang Li mengajarkan kepada kita semua tentang arti…
BERANI IKHLA Sejati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar