Sabtu, 16 Juli 2011

Danau Maninjau Dalam Sejarah


Luas wilayah Maninjau diperkirakan 284 km persegi, terdiri dari daratan seluas 148,5 km persegi, perairan seluas 99,5 km persegi dan daerah resapan api berkisar 2-5 km. Dilihat dari puncak bukit, jalan raya yang melingkari Danau Maninjau kira-kira 47 km.
Topografi Danau Maninjau dengan ketinggian kawasan berkisar 1.362-1.626 mdpl. Menurut Schemit dan Ferguson kawasan ini memilki iklim type A dengan rata-rata curah hujan tiap tahun adalah 2.000 mm/tahun.jenis tanah yang terdapat dalam kawasan ini adlah 45% andossol, 40% latosol, 5% alivial. Danau Maninjau menyerupai kuali besar yang berisi air, di sekelilingnya terdapat perbukitan berlereng yang di tumbuhi pohon-pohan besar yang menjadi kawasan penyangga dan cachmen area (daerah tangkapan air) Danau Maninjau.

Danau vulkanis yang terjadi akibat meletusnya Gunung Tinjau, meletus kira-kira ribuan tahun yang lalu, bagi masyarakat sekitarnya menamakan Danau Maninjau. Legenda rakyat Maninjau menggambarkan peristiwa meletusnya gunung ini berawal dari terjunnya si Sani dari Sigiran ke dasar kawah akibat di hukum oleh kakaknya Bujang Sambilan (sebut saja sembilan)
Cerita legenda ini mengisahkan hidupnya keluarga besar Bujang Sambilan pada masa itu, di sebuah lembah kaki Gunung Tinjau, pertentangan dalam keluarga besar Bujang Sambilan dengan anak mamaknya, karena tidak senangnya mereka akibat tumbuhnya benih-benih kasih sayang antara adik perempuan (Sani) dari Bujang Sambilan dengan anak mamaknya (Sigiran), namun dalam perjalanan kasih sayang ini tidak begitu direstui oleh beberapa kakaknya, adik Bujang Sambilan bernama si Sani ingin menikah dengan sang pujangganya yang bernama Sigiran, upaya meminang telah dilakukan oleh pihak laki-laki, namun hal ini selalu di halangi oleh salah satu anggota Bujang Sambilan, ditelusuri masalah utama rupanya adalah dendam lama dan fitnahan salah satu kakaknya si Sani terhadap Sigiran. Pada akhirnya Bujang Sambilan sepakat membuang adik sematawayang ke kawah Gunung Tinjau.
Sebelum menerjunkan diri ke kawah gunung, si Sani mengucapkan kata-kata terakhir yang berupa isi persumpahan terhadap kakaknya, bahwa mereka tidak bersalah dan mereka hanya difitnah, kata persembahan terakhir tersebut berbunyi : “ jika mereka memang berbuat salah maka ketika mereka sampai di dasar kawah, api kawah Gunung Tinjau ini akan padam, namun jika mereka tidak bersalah maka api kawah akan membesar, mengamuk dan gunung ini akan murka”, setelah itu baru kedua insan ini melompat ke kawah gunung, pada saat itu gunung mengamuk dan meletus, apa yang diucapkan si Sani menjadi kenyataan bahwa mereka hanya difitnah.
Perbuatan Bujang Sambilan ini oleh Yang Maha Kuasa dikutuk menjadi sembilan ekor ikan rayo (ikan raya) yang ditugaskan menghuni Danau Maninjau dari kerusakan, kesembilan ikan ini bagi masyarakat Maninjau disebut Bujang Sambilan. Boleh kita percaya atau tidak dalam uraian cerita ini, namun itulah segelintir legenda rakyat Maninjau.
Pada masa penjajah Belanda, kawasan Danau Maninjau dijadikan sebagai daerah wisata oleh pemerintah Belanda yang berkedudukan di Bukittinggi, pada hari libur mereka pergi melancong menikmati pemandangan alam Danau Maninjau, untuk melancarkan transportasi sampai ke Danau Maninjau penjajah membuat jalan yang melewati bukit-bukit yang curam yang dikenal dengan kelok 44 (ampek puluah ampek). Sejarah pembuatan jalan ini pada waktu itu dipekerjakan ratusan orang Maninjau untuk membuat jalan raya secara paksa.
Belanda tidak hanya menjadikan kawasan Danau Maninjau untuk tujuan daerah wisata, namun usaha pelestarian lingkungan juga dilakukan pemerintah Belanda. Pada waktu itu pelestarian kawasan yang indah harus tetap dijaga, bagi masyarakat dilarang merusak hutan yang ada di perbukitan dan daerah lereng bukit bahkan mereka disuruh menaman tanaman palawija seperti cengkeh, kopi, pala, kulit manis, durian dan hasilnya akan diserahkan pada Belanda, pada masa itu Maninjau terkenal dengan hasil rempah– rempahnya, hal ini masih sempat dirasakan sampai akhir tahun 80-an.
Namun masa jayanya Maninjau dengan hasil palawijanya hanya menjadi kenangan saja, cengkeh, pala, kopi, kulit manis dan yang lainnya tidak begitu diurus oleh masyarakat sehingga tanaman tersebut banyak yang mati, penyebab utama dari persoalan ini adalah masyarakat tidak mendapatkan hasil yang berarti dari upaya mereka menanam palawija, sebaik dan sebagus apapun kwalitas cengkeh, pala, kopi kulit manis tidak akan mendatangkan keuntungan yang berarti bagi masyarakat, karena permainan harga dipasaran tidak menentu, pada masa itu kondisi politik sangat menentukan kondisi harga di pasar.
Tidak hanya pada zaman penjajahan Belanda saja Maninjau dikenal sebagai daerah kunjungan wisata alam, pada tahun 1991 pemerintah Indonesia mencanangkan Kunjungan Indonesia 1991 (Visit Indonesian Year 1991). Jumlah kunjungan tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1997 krisis ekonomi menimpa Indonsia dan situasi politik, sosial, ekonomi dan keamanan tidak menentu berdampak buruk pada jumlah pengujung. Tidak ada alasan lain yang dibicarakan selain dari situasi keamanan Indonesia yang tidak jelas maka berimplikasi buruk pada kunjungan wisata ke Indonesia termasuk juga Maninjau. Turunnya jumlah pengunjung jelas saja berdampak buruk pula pada pengusaha pariwisata, semakin tingginya cost/pengeluaran dalam perawatan fasilitas dan biaya membuat pengsaha gigit jari untk mencari biaya tambahan lainnya, bagi yang tidak mampu bertahan maka mereka lebih baik memilih menutup usaha mereka atau lebih dikenal dengan gulung tikar.
Kembali bicara SDA Maninjau salah satunya sumber daya hutan, bagi masyarakat sendiri hutan lindung ini masih mengakui, hutan lindung itu disebut dengan hutan BW yan dipatok pada masa penjajarah Belanda, yang menjadi persoalan sekarang bahwa batas hutan BW tidak begitu jelas dan usaha yang dilakukan Departemen Kehutanan Indonesia yang telah mencoba menata hutan dikawasan ini, kadang kala menurut masyarakat batas BW bertumpang tindih dengan lahan yang sudah menjadi ulayat masyarakat. Pada tahun 1982 kawasan utara dan selatan Maninjau telah ditetapkan menjadi kawasan suaka alam hal ini menjadikan Maninjau secara adminstrasi untuk urusan pelestarian lingkungan dibawah pengawasan sub seksi KSDA Kabupaten Agam. Sejarah lahirnya ketetapan ini diawali dengan rekomendasi Gebernur KDH Tk I Sumatera Barat no. 471/VI/BAPPEDA-1978 pada tanggal 12 juni 1978 dan SK Mentri Pertania no. 623/Kpts/Um/8/1982 pada tanggal 22 agustus 1982 kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan suaka alam Maninjau utara selatan dengan luas 22.106 Ha. Daerah yang melingkupi kawasan suaka alam ini terdapat di Kenagarian Tanjung Sani dan Kenagarian VI Koto Kecematan Tanjung Raya.
Waktu terus berjalan, Belanda berpindah kuasa ke penjajah Jepang, kawasan Maninjau masih dipertahankan seperti apa adanya, Jepang kalah dalam PD II dan Indonesia memerdekakan diri tahun 1945 kawasan Maninjau tidak jauh berubah, keaslian dan keindahan alamnya masih dapat dirasakan. Bicara Danau Maninjau dan masalah lingkungan yang terjadi saat ini secara kasat mata dapat dirasakan adalah air keruh, air menyusut, ikan endemik (seperti bada, rinuak, gariang, barau, kailan panjang, cideh-cideh, kailan gadih, ikan todak, supareh, asang, pensi) tidak banyak lagi bahkan ada yang sudah punah, pencurian kayu berskala kecil masih terjadi, musibah tubo belerang, bencana tanah longsor masih mengancam daerah tertentu, pembangunan pantai danau yang di dam dengan beton, petani yang menggunakan pupuk pestisida yang muaranya ke danau, penggunaan pakan ikan yang residunya mengendap di dasar sungai, dam disekitar terowongan PLTA Maninjau yang menghambat sirkulasi air dan masalah sampah masyarakat dan industri pariwisata yang di buang ke danau.
Gejala alam yang sering terjadi di Danau Maninjau adalah tubo adalah matinya ikan di dalam danau Maninjau dikarenakan naiknya belerang dalam dasar danau, biasanya peristiwa ini terjadi secara alami, tanda-tanda tubo itu sendiri diawali dengan munculnya angin kencang dalam beberapa hari bagi masyarakat sendiri menyebutnya angin darek, tanda lainnya bau belerang menyekat ke hidung dan kadang kala hujan disertai angin yang terjadi terus menerus. Pada waktu tubo ini masyarakat (orang tua, muda, anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki dan perempuan) beramai-ramai ke pinggir pantai untuk menangkap ikan, mereka bergembira ria menangkap ikan yang lagi pusing disebabkan air bercampur belerang. Bagi masyarakat Maninjau datangnya tubo secara alam merupakan anugrah dan reski yang didatangkan dari Tuhan YME, ada juga yang mengatakan tubo itu terjadi karena isi atau ikan di danau sudah terlalu banyak sehingga secara alami perlu pengurangan maka Tuhan menganugerahkan peristiwa tubo.
Persoalan sosial muncul ketika masyarakat sekeliling Danau Maninjau mendapatkan musibah tubo pada tahun 1997-1999 yang mematikan ikan dalam danau dan ikan yang dipelihara petani ikan melalui usaha karamba (jala apung). Diperkirakan milyaran rupiah kerugian yang dialami oleh petani ikan tersebut, bangkai ikan yang sudah membusuk banyak bertebaran disekitar danau, sisa-sisa bangkai ikan menjadi pencemaran danau yang tidak bisa dikendalikan lagi sehingga bau busuk dari bangkai tersebut menyebar disekitar daerah Maninjau, pasca tubo menyebabkan air berwarna dan keruh, bahkan masyarakat tidak bisa lagi mengkonsumsi air untuk mencuci dan mandi. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa lembaga mengindikasikan bahwa penyebab keruhnya air akibat residu pakan ikan yang mengendap di dasar danau. Kondisi ini diperparah dengan tidak lancarnya aliran air yang keluar akibat dam terowongan milik PLTA Maninjau yang terdapat di bibir hulu sungai Batang Antokan.
Kawasan pantai secara alami diperuntukkan sebagai daerah resapan air. Namun pantai di dam dengan beton untuk mendirikan bangunan hotel, rumah, penginapan dan bangunan lainnya sehingga daerah resapan tersebut semakin berkurang. Disadari atau tidak pembangunan PLTA, hotel, rumah, penginapan dan bangunan lainnya yang melewati garis pantai sebagai daerah resapan air telah merubah bentuk ekosistem danau itu sendiri, jika hal ini dibiarkan saja tanpa ada upaya pencegahan maka kerusakan danau akan semakin parah, contoh sederhana ombak air danau pada sore hari menghempas ke pinggir pantai sekarang dihalangi oleh tembok bangunan (dam) sehingga siklus air tidak berjalan secara alami, jelas saja goncangan ombak akan besar didasar danau dan hal ini akan mengguncang dasar danau yang berlumpur akibatnya air danau akan cepat keruhnya.
Sangat disayangkan perlakuan ramah terhadap danau Maninjau belum sepenuhnya dilakukan bahkan kecendrungan mengabaikan tradisi lokal atau kearifan sosial yang selama ini ramah terhadap lingkungan, semakin tinggi pengetahuan dan penerapan teknologi yan didapati tidak sebanding dengan upaya pelestarian lingkungan hidup yang dijadikan sebagai sumber kehidupan ini. Siapa yang punya uang, siapa yang punya kekuasaan dan pengaruh dapat saja memperlakukan danau seenak perutnya (semaunya saja) tidak terlebih pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat dan rakyat biasa memperlakukan danau secara tidak adil.
Jadi menurut pemikiran saya bahwa perlakuan mendam atau membeton pinggir pantai merupakan sebuah poses pengrusakan Danau Maninjau, karena mengakibatan berubahnya bentuk keaslian danau, ekosistem danau akan berubah,……
Himbaan dari pemerintah kabupaten, kecamatan bahkan desa pada waktu itu tidak begitu diindahkan, bahwa dalam himbauan tersebut tidak dibolehkan membangun di selingkar pantai Danau maninjau dengan beton, alasannya akibat upaya membangun pantai dengan benton akan mengurangi bentuk keaslian danau Maninjau, disayangkan himbauan hanya sekedar himbauan tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk membuat suatu peraturan daerah yang berpihak pada pelestarian Danau Maninjau.
Kalau kita mau jujur para pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat dan masyarakat umumnya kita telah melakukan kesalahan dalam pengelolaan Danau Maninjau. Kita tidak begitu cepat membuat sebuah aturan atau kebijakan yang melindungi Danau Maninjau dari kerusakan, walaupun ada aturan adat dan imbauan penghentian perusakan, namun hal itu tidak begitu efektif mencengah perusakan lingkungan kawasan Maninjau, besar atau kecilnya porsi kesalahan tergantung pada peran dan fungsi kita semua.
Langkah yang sewajarnya dapat ditempuh sebaiknya dengan melakukan audit lingkungan di kawasan Danau Maninjau, syarat utama pelaku audit adalah lembaga independen yang berisi orang-orang yang bersih atau tidak pernah melakukan perusakan lingkungan. Sehingga hasil audit ini bisa dijadikan sebagai bahan bagi rakyat Maninjau untuk melakukan “class action” pada perusak lingkungan. Wilayah audit dapat dilakukan diseluruh sektor sumberdaya alam meliputi hutan, sawah pertanian, air danau, pinggir danau dan sungai. Pengrusakan di sektor kehutanan adalah penebangan liar pencurian kayu di sekitar perbukitan Maninjau, perusakan sawah pertanian adalah penggunaan pupuk pestisida aliran airnya ke dalam danau, perusakan air danau adalah pengunaan pakan ikan yang bisa memcemari air danau, perusakan pinggir pantai adalah mendam dengan beton/semen pinggir pantai oleh pemerintah, masyarakat dan pengusaha yang membangun PLTA, perumahan, perhotelan, penginapan dan bangunan lainnya. Perusakan hutan adalah penebangan/atau pengambilan kayu di kawasan yang cukup rawan bencana longsor.
Ada tiga kawasan yang perlu untuk diaudit, pertama kawasan pantai selingkar danau yang dibentoni sebut saja seperti PLTA, hotel, penginapan dan berbagai rumah penduduk. Kedua kawasan hutan yang rawan terjadi longsor/galodo. Ketiga kawasan pantai yang banyak terdapat jala apung/karamba.
Untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang terjadi di Maninjau, menurut saya ada beberapoa tawan yang perlu dilakukan masyarakt selingkar Danau Maninjau. Setelah kembalinya pemerintahan terentah di Sumatera Barat dari desa ke nagari, akan membuka peluang bagi warga nagari membangun suatu model pengelolaan sumber daya alam Maninjau berbasis pada kearifan lokal atau nagari, dengan tradisi musyarwah dan mufakat para pihak berkepentingan nagari duduk bersama untuk memikirkan kearifan nagari dalam pengelolan sumber daya alam yang tersisa. Setelah terbangunnya model perlu didukung oleh kebijakan nagari yang mengatur segala urusan pengelolaan SDA nagari. Pihak BPRN dan Wali Nagari didukung oleh partisipasi penuh dari niniak-mamak, alim-ulana, cerdik-pandai, budo kanduang dan paga nagari beserta seluruh warga nagari, akan duduk bersama untuk membangun kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan dan keberlanjutan keberadaan lingkungan nagari. Perlunya kelembangan struktural yang kuat untuk menopang, menjalankan dan mengawasi tradisi PSDA berbasiskan nagari, disamping kelembangaan itu juga akan dibutuhkan kedepan untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan selingkar Danau Maninjau.

======================================================================
Alam Takambang Jadi Guru
======================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar